Tradingan – Dalam #beberapa #tahun #terakhir, #dunia #keuangan #menyaksikan #revolusi diam-diam yang dipicu oleh stablecoin—#aset #kripto yang nilainya dipatok ke mata uang fiat seperti Dolar AS. Di bawah bayang-bayang kebijakan pro-kripto dari figur seperti Donald Trump, revolusi ini tidak hanya mengubah lanskap investasi tetapi juga mulai mengancam fondasi sistem perbankan tradisional, khususnya di negara-negara berkembang.
Sebuah laporan terbaru dari raksasa perbankan, Standard Chartered, mengeluarkan peringatan keras: gelombang stablecoin yang didukung Dolar AS berpotensi menyedot simpanan senilai $1 triliun dari bank-bank di ekonomi emerging market dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan. Artikel ini akan mengupas tuntas laporan tersebut, menjelaskan mengapa hal ini terjadi, negara mana yang paling berisiko, dan implikasinya bagi stabilitas keuangan global.
Baca juga: XRP Siap Cetak Rekor Terbaru Usai Bitcoin Tembus All-Time High

Apa Itu Stablecoin dan Mengapa Mereka Begitu Menarik?
Sebelum menyelami lebih dalam, penting untuk memahami apa yang membuat stablecoin begitu istimewa.
- Definisi: Stablecoin adalah jenis aset kripto yang dirancang untuk mempertahankan nilai yang stabil dengan cara dipatok (peg) ke aset lain, seperti Dolar AS atau emas.
- Fungsi Utama: Mereka bertindak sebagai jembatan antara dunia kripto yang volatil dan dunia keuangan tradisional yang stabil, memudahkan transaksi dan penyimpanan nilai.
- Dominasi Dolar AS: Sekitar 99% dari semua stablecoin yang beredar dipatok ke Dolar AS. Dalam praktiknya, ini menjadikannya seperti rekening bank berbasis Dolar AS yang terdigitalisasi, tetapi dengan akses yang lebih global, cepat, dan seringkali tanpa birokrasi.
Laporan Standard Chartered: $1 Triliun Menguap dari Bank Negara Berkembang
Laporan dari Standard Chartered—bank yang sangat berpengalaman beroperasi di ekonomi berkembang—menyoroti sebuah tren yang mengkhawatirkan. Dorongan untuk menyelamatkan kekayaan dari kehancuran akan mendorong individu dan perusahaan untuk memindahkan uang mereka ke dalam dompet stablecoin, meninggalkan bank-bank tradisional.
“Kami melihat potensi $1 triliun meninggalkan bank-bank di pasar emerging dan beralih ke stablecoin dalam tiga tahun ke depan atau sekitar itu,” demikian bunyi laporan yang diterbitkan pada hari Senin.
Baca juga: Mengenal Order Block dan Imbalance dalam Analisis Market Structure
Angka ini bukanlah prediksi yang gegabah. Analis Standard Chartered memperkirakan penggunaan stablecoin sebagai alat tabungan di perekonomian berkembang akan melonjak dari sekitar $173 miliar saat ini menjadi $1,22 triliun pada akhir 2028.
Mengapa Orang Beralih ke Stablecoin? “Modal Aman Lebih Penting Daripada Bunga”
Alasan di balik perpindahan massal ini sangat mendasar: rasa aman. Bagi banyak penduduk di negara dengan mata uang yang rentan, tujuan utama bukanlah mencari cuan (return on capital), melainkan menyelamatkan modal yang sudah ada (return of capital).
Standard Chartered dengan tepat menyimpulkan: “Return of capital matters more than return on capital.” (Keamanan modal lebih penting daripada imbal hasil atas modal).
Berikut adalah faktor pendorong utamanya:
- Melindungi dari Krisis Mata Uang: Di negara-negara dimana mata uang lokal sering terdepresiasi tajam (seperti Turki, Mesir, atau Argentina), menyimpan kekayaan dalam stablecoin yang dipatok dolar sama dengan melindunginya dari inflasi dan kehancuran nilai tukar.
- Akses ke ‘Dolar Digital’: Stablecoin memberikan akses mudah ke aset seperti Dolar AS tanpa perlu membuka rekening bank di Amerika, yang seringkali rumit bagi warga negara asing.
- Efisiensi dan Kecepatan: Transfer uang lintas batas menggunakan stablecoin bisa lebih cepat dan murah dibandingkan sistem perbankan tradisional.
Negara-Negara yang Paling Berisiko Kehilangan Simpanan
Meski angka $1 triliun terdengar sangat besar, para analis menekankan bahwa ini masih mewakili hanya 2% dari total simpanan bank di 16 negara yang mereka kategorikan berisiko tinggi. Namun, penarikan dana secara bertahap sekalipun dapat berdampak signifikan pada likuiditas perbankan.
Negara-negara berisiko tinggi tersebut meliputi:
- Negara dengan Riwayat Krisis Akut: Mesir, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, dan Turki.
- Ekonomi Berkembang Berbobot: India, Brasil, Afrika Selatan, Kenya, dan Maroko.
- Pengecualian Kunci: China. Laporan menyebutkan China sebagai pengecualian utama, meskipun termasuk dalam daftar, karena kontrol modal yang ketat membatasi arus keluar semacam ini.
Laporan tersebut menjelaskan, “Banyak dari mereka, dengan pengecualian utama China, memiliki defisit ganda (twin deficits) yang membuat mereka relatif rentan terhadap penghindaran risiko global dan depresiasi mata uang yang tajam dan tiba-tiba.” Twin deficits mengacu pada defisit anggaran pemerintah dan defisit neraca berjalan, yang merupakan kondisi yang melemahkan bagi suatu perekonomian.
Regulasi AS dan Masa Depan Stablecoin
Pemerintah AS menyadari potensi risiko sistem keuangan dari aset kripto. Rangkaian undang-undang kripto baru yang sedang dikembangkan bertujuan untuk memitigasi pelarian dana dengan, antara lain, melarang penerbit stablecoin yang mematuhi aturan AS untuk membayar hasil langsung (yield)—yang setara dengan bunga pada rekening bank.
Namun, Standard Chartered berpendapat bahwa bagi populasi di negara berkembang, insentif berupa bunga tidak sebanding dengan jaminan keselamatan modal. Larangan membayar yield mungkin tidak cukup untuk mencegah mereka beralih ke stablecoin, karena motivasi utamanya adalah perlindungan, bukan spekulasi.
Kesimpulan: Sebuah Transformasi Keuangan yang Tak Terelakkan
Laporan dari Standard Chartered ini bukan sekadar prediksi, tetapi sebuah cermin dari realitas yang sedang berlangsung. Stablecoin yang didukung Dolar AS bukan lagi sekadar alat untuk pedagang kripto, melainkan telah berevolusi menjadi “safe haven” atau pelindung nilai digital bagi jutaan orang di negara-negara dengan ketidakstabilan ekonomi.
Eksodus potensial senilai $1 triliun adalah sinyal peringatan bagi:
- Bank Sentral di Negara Berkembang: Untuk memperkuat fundamental ekonomi dan membangun kepercayaan terhadap mata uang lokal.
- Regulator Global: Untuk menciptakan kerangka regulasi yang mampu mengimbangi inovasi keuangan digital tanpa mematikan.
- Perbankan Tradisional: Untuk beradaptasi dengan menawarkan produk digital yang kompetitif.
Baca Juga: Teknik Smart Money Concept (SMC): Membaca Pergerakan Big Player di Pasar
Transformasi menuju sistem keuangan yang lebih terdesentralisasi dan global telah dimulai. Gelombang stablecoin hanyalah salah satu manifestasinya, dan negara-negara yang tidak siap akan menghadapi konsekuensi yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan mereka.
[…] Baca juga: Ancaman Eksodus Triliunan Dolar: Bagaimana Stablecoin AS Mengancam Perbankan Negara Berkembang […]